Rabu, 05 Maret 2014

Perhitungan BPHTB Warisan

Apabila Anda meninggal dunia dengan meninggalkan warisan berupa sebidang tanah dan bangunan sebenarnya Anda juga meninggalkan sederet masalah keuangan kepada ahli waris Anda? Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena adanya Pajak BPHTB Waris atas Tanah dan Bangunan di negara kita. Pada umumnya, masyarakat kita masih awam akan masalah hukum perpajakan yang satu ini, sehingga ketika saatnya ahli waris ingin mengurus balik nama sertifikat, mereka kaget bukan main melihat besarnya pajak yang harus mereka tanggung. Seringkali karena tidak sanggup membayar pajak waris, para ahli waris tersebut terpaksa menjual tanah dan bangunan warisannya dengan harga yang murah.
Sebenarnya, kejadian di atas tidak perlu terjadi apabila Anda sudah membuat perhitungan yang matang mengenai biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh ahli waris ketika Anda meninggalkan warisan berupa tanah dan bangunan, dan merencanakan dana yang cukup untuk membiayai biaya-biaya tersebut. Bagaimana caranya? Mari kita simak pembahasan di bawah ini.
I. Apa itu BPHTB waris? 
BPHTB waris adalah pengenaan pajak kepada para ahli waris, sehubungan dengan peralihan hak atas tanah dan bangunan dari pewaris kepada ahli warisnya. Dalam menghitung BPHTB waris atas tanah dan bangunan, rumus yang umum dipakai adalah sebagai berikut:
{(NJOP – NTKP)x 5%} x50%
NJOP= Nilai Jual Objek Pajak
NTKP= Nilai Tidak Kena Pajak (tiap daerah berbeda-beda)
Contoh:
Bapak Joko meninggal dunia dengan meninggalkan warisan berupa sebidang tanah yang terletak di daerah Manggarai, Jakarta Selatan, seluas 300M2 kepada istrinya, Maysaroh dan anaknya, Doni. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2012 yang tercantum dalam surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) adalah sebesar Rp. 800jt.  Nilai tidak kena pajak (NTKP) untuk wilayah DKI Jakarta adalah sebesar Rp.300jt.
Simulasi perhitungan BPHTB waris yang harus di bayar oleh para ahli waris adalah sebagai berikut:
{ (NJOP  -  Rp.300jt)  x 5%}   x  50%
{ (Rp. 800jt – Rp. 300jt)  x 5%}  x  50%  = Rp. 12.500.000,–
Jadi BPHTB waris yang harus di bayar oleh Ibu Maysaroh dan Doni adalah sebesar Rp. 12.500.000,–
II. Kapan BPTHB tersebut harus dibayar?
BPHTB waris harus dibayar pada saat warisan terbuka atau pada saat terjadinya peralihan hak atas tanah yang dimaksud. Mengenai saat peralihan hak atas tanah ini, apabila kita mengacu pada hukum waris, maka saat beralihnya hak atas tanah tersebut adalah pada saat Pewaris meninggal dunia. Oleh karena itu, perhitungan pajaknya menggunakan perhitungan pada tahun Pewaris tersebut meninggal dunia. Namun demikian, karena tidak seluruh hak atas tanah tersebut langsung dibalik nama, atau juga karena masyarakat banyak yang tidak mengerti bahwa dalam setiap pewarisan diharuskan membayarkan BPHTB waris,  maka biasanya pajak waris dibayarkan pada saat bersamaan dengan penjualan Tanah dan Bangunan tersebut kepada pihak lain, atau pada saat perpanjangan atau peningkatan status hak atas tanah dimaksud. Baru pada saat itulah ahli waris membayar BPHTB warisnya. Sebab, apabila BPHTB waris tersebut tidak dibayarkan terlebih dahulu, maka balik nama waris tidak bisa dilakukan.
III. Bagaimana Cara Merencanakan Dana BPHTB Agar Tidak Memberatkan Ahli Waris?
Dana untuk membayar BPHTB dapat direncanakan oleh Pewaris, dalam contoh di atas Pak Joko, sebelum beliau meninggal dunia. Yang perlu diingat di sini adalah, setiap kali kita membeli sebidang tanah dan bangunan, sebenarnya kita berhutang biaya BPHTB Waris kepada ahli waris kita. Yang perlu kita pastikan adalah bagaimana dana tersebut tersedia ketika ahli waris kita membutuhkannya. Oleh karena itu, kita perlu memasukkan biaya BPHTB atas seluruh tanah dan bangunan yang kita miliki ke dalam perencanaan dana warisan kita.

prosedur kepemilikan CV

CV atau Comanditaire Venootschap adalah bentuk usaha yang merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih oleh para pengusaha yang ingin melakukan kegiatan usaha dengan modal yang terbatas. Karena, berbeda dengan PT yang mensyaratkan minimal modal dasar sebesar Rp. 50jt dan harus di setor ke kas Perseroan minimal 25%nya, untuk CV tidak ditentukan jumlah modal minimal. Jadi, misalnya seorang pengusaha ingin berusaha di industri rumah tangga, percetakan, biro jasa, perdagangan, catering, dll dengan modal awal yang tidak terlalu besar, dapat memilih CV sebagai alternatif Badan Usaha yang memadai. 
Apakah bedanya CV dengan PT ?
Perbedaan yang mendasar antara PT dan CV adalah, PT merupakan Badan Hukum, yang dipersamakan kedudukannya dengan orang dan mempunyai kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para pendirinya. Jadi, PT dapat bertindak keluar baik di dalam maupun di muka pengadilan sebagaimana halnya dengan orang, serta dapat memiliki harta kekayaan sendiri. Sedangkan CV, dia merupakan Badan Usaha yang tidak berbadan hukum, dan kekayaan para pendirinya tidak terpisahkan dari kekayaan CV.
Karakteristik CV yang tidak dimiliki Badan Usaha lainnya adalah: CV didirikan minimal oleh dua orang, dimana salah satunya akan bertindak selaku Persero Aktif (persero pengurus) yang nantinya akan bergelar Direktur, sedangkan yang lain akan bertindak selaku Persero Komanditer (Persero diam). Seorang persero aktif akan bertindak melakukan segala tindakan pengurusan atas Perseroan; dengan demikian, dalam hal terjadi kerugian maka Persero Aktif akan bertanggung jawab secara penuh dengan seluruh harta pribadinya untuk mengganti kerugian yang dituntut oleh pihak ketiga. Sedangkan untuk Persero Komanditer, karena dia hanya bertindak selaku sleeping partner, maka dia hanya bertanggung jawab sebesar modal yang disetorkannya ke dalam perseroan.
Perbedaan lain yang cukup penting antara PT dengan CV adalah, dalam melakukan penyetoran modal pendirian CV, di dalam anggaran dasar tidak disebutkan pembagiannya seperti halnya PT. Jadi, para persero harus membuat kesepakatan tersendiri mengenai hal tersebut, atau membuat catatan yang terpisah. Semua itu karena memang tidak ada pemisahan kekayaan antara CV dengan kekayaan para perseronya.
Bagaimana Cara Mendirikan CV ?
CV dapat didirikan dengan syarat dan prosedur yang lebih mudah daripada PT, yaitu hanya mensyaratkan pendirian oleh 2 orang, dengan menggunakan akta notaris yang berbahasa Indonesia. Walaupun dewasa ini pendirian CV mengharuskan adanya akta notaris, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dinyatakan bahwa pendirian CV tidak mutlak harus dengan akta notaris.
Pada saat para pihak sudah sepakat untuk mendirikan CV, maka dapat datang ke kantor notaris dengan membawa KTP. Untuk pendirian CV, tidak diperukan adanya pengecekan nama CV terlebih dahulu. Oleh karena itu proses nya akan lebih cepat dan mudah dibandingkan dengan pendirian PT.
Namun demikian, dengan tidak didahuluinya dengan pengecekan nama CV, menyebabkan nama CV sering sama antara satu dengan yang lainnya.
Pada waktu pendirian CV, yang harus dipersiapkan sebelum datang ke notaris adalah adanya persiapan mengenai:
  1. Calon nama yang akan digunakan oleh CV tersebut
  2. Tempat kedudukan dari CV
  3. Siapa yang akan bertindak selaku Persero aktif, dan siapa yang akan bertindak selaku persero diam.
  4. Maksud dan tujuan yang spesifik dari CV tersebut (walaupun tentu saja dapat mencantumkan maksud dan tujuan yang seluas-luasnya).
Untuk menyatakan telah berdirinya suatu CV, sebenarnya cukup hanya dengan akta notaris tersebut, namun untuk memperkokoh posisi CV tersebut, sebaiknya CV tersebut di daftarkan pada Pengadilan Negeri setempat dengan membawa kelengkapan berupa Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP) dan NPWP atas nama CV yang bersangkutan.
Apakah itu akta, SKDP, NPWP dan pendaftaran pengadilan saja sudah cukup ?
Sebenarnya semua itu tergantung pada kebutuhannya. Dalam menjalankan suatu usaha yang tidak memerlukan tender pada instansi pemerintahan, dan hanya digunakan sebagai wadah berusaha, maka dengan surat-surat tersebut saja sudah cukup untuk pendirian suatu CV. Namun, apabila menginginkan ijin yang lebih lengkap dan akan digunakan untuk keperluan tender, biasanya dilengkapi dengan surat-surat lainnya yaitu:
  1. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
  2. Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP)
  3. Tanda Daftar Perseroan (khusus CV)
  4. Keanggotaan pada KADIN ( sesuai dengan domisili CV )
Pengurusan ijin-ijin tersebut dapat dilakukan bersamaan sebagai satu rangkaian dengan pendirian CV dimaksud, dengan melampirkan berkas tambahan berupa:
  1. Copy Kartu keluarga Persero Pengurus (Direktur) CV
  2. Copy NPWP Persero Pengurus (Direktur) CV
  3. Pas photo ukuran 3X4 sebanyak 4 lembar dengan latar belakang warna merah
  4. Copy bukti pemilikan atau penggunaan tempat usaha, dimana
  • apabila milik sendiri, harus dibuktikan dengan copy sertifikat dan copy bukti pelunasan PBB th terakhir
  • apabila sewa kepada orang lain, maka harus dibuktikan dengan adanya perjanjian sewa menyewa, yang dilengkapi dengan pembayaran pajak sewa (Pph) oleh pemilik tempat sebagai catatan berdasarkan SK Gubernur Jawa Timur, untuk wilayah Sidoarjo dan sekitarnya, yang dapat digunakan sebagai tempat usaha hanyalah Rumah toko, pasar atau perkantoran. Namun ada daerah-daerah tertentu yang dapat digunakan sebagai tempat usaha yang tidak membahayakan lingkungan, asalkan mendapat persetujuan dari RT/RW setempat
Jangka waktu pengurusan semua ijin-ijin tersebut dari pendirian sampai dengan selesai lebih kurang selama 2 bulan.
 
sumber : Notaris sidoarjo

Letter C dan kepemilikan hak atas tanah

Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu penyebab dari minimnya proses pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat maka mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya tanah-tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang mereka miliki sangat minim bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali. Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A atau si B tanpa perlu mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut.
Untuk tanah yang memiliki surat minim itu biasanya berupa leter C. Letter C ini diperoleh dari kantor desa dimana tanah itu berada, letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa atau Kelurahan. Dalam masyarakat masih banyak yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan buku letter C, karena didalam literatur ataupun perundang-undangan mengenai pertanahan sangat jarang dibahas atau dikemukakan. Mengenai buku letter C ini sebenarnya hanya dijadikan dasar sebagai catatan penarikan pajak, dan keterangan mengenai tanah yang ada dalam buku letter C itu sangatlah tidak lengkap dan cara pencatatannya tidak secara teliti sehingga akan banyak terjadi permasalahan yang timbul dikemudian hari dikarenakan kurang lengkapnya data yang akurat dalam buku letter C tersebut. Adapun kutipan Letter C terdapat dikantor Kelurahan, sedangkan Induk dari Kutipan Letter C terdapat di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah memiliki alat bukti berupa girik sebagai alat bukti pembayaran pajak atas tanah.
Dan saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat.
Pasal 19 UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat tentang bukti kepemilikan tanah. Mereka mengganggap tanah milik adat dengan kepemilikan berupa girik, dan Kutipan Letter C yang berada di Kelurahan atau Desa merupakan bukti kepemilikan yang sah. Juga masih terjadinya peralihan hak seperti jual beli, hibah, kewarisan ataupun akta-akta yang belum didaftarkan sudah terjadi peralihan hak yang dasar perolehannya dari girik dan masih terjadinya mutasi girik yang didasarkan oleh akta-akta, tanpa didaftarkan di Kantor Pertanahan. Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak, tanggal 27 Maret 1993, Nomor : SE-15/PJ.G/1993, tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB II). Saat ini dibeberapa wilayah  Jakarta pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sudah ditiadakannya mutasi girik, hal ini disebabkan karena banyaknya timbul permasalahan yang ada di masyarakat karena dengan bukti kepemilikan berupa girik menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan atau ketidakpastian mengenai obyek tanahnya. Maka peran serta buku kutipan letter C sangat dominan untuk menjadi acuan atau dasar alat bukti yang dianggap masyarakat sebagai alat bukti kepemilikan tanah.
Sebagai contoh, dalam hal seorang warga yang akan mengurus sertipikat, padahal tanahnya pada saat ini baru berupa girik, maka yang dilakukan Kepala Desa atau Kelurahan adalah dengan berpedoman pada keadaan fisik tanah, penguasaan, bukti pembayaran pajak. Seorang Kepala Desa atau Kelurahan akan mencocokkan girik tersebut pada Kutipan Letter C pada Kelurahan. Sedangkan pengajuan hak atas tanah untuk yang pertama kali adalah harus ada Riwayat Tanah (yang dikutip dari letter C) serta Surat Keterangan Tidak Dalam Sengketa yang diketahui oleh Kepala Desa atau Kelurahan. Dengan dipenuhinya dokumen alat bukti tersebut seorang warga dapat mengajukan permohonan atas kepemilikan tanah tersebut untuk memperoleh hak atas tanah pada Badan Pertanahan yang disebut Sertipikat.
Pembahasan mengenai pengakuan hak milik atas tanah disertai dengan penerbitan sertipikat tanah sangatlah penting, setidak-tidaknya karena :
  1. Sertipikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Karena penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Dan kepemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh siapapun.
  2. Dengan kepemilikan sertipikat hak atas tanah, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, sertipikat tanah memiliki nilai ekonomis seperti disewakan, jaminan hutang, atau sebagai saham.
  3. Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah pemilikan tanah dengan luas berlebihan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Pengakuan hak milik atas tanah yang dituangkan kedalam bentuk sertipikat  merupakan tanda bukti hak atas tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UUPA dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah. Sertipikat tanah membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu. Sertipikat tanah merupakan salinan buku tanah dan didalamnya terdapat gambar situasi dan surat ukur serta memuat data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Data fisik mencakup keterangan mengenai letak, batas, dan luas tanah. Data yuridis mencakup keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Data fisik dan data yuridis dalam Buku Tanah diuraikan dalam bentuk daftar, sedangkan data fisik dalam surat ukur disajikan dalam peta dan uraian. Untuk sertipikat tanah yang belum dilengkapi dengan surat ukur disebut sertipikat sementara. Fungsi gambar situasi pada sertipikat sementara terbatas pada penunjukan objek hak yang didaftar, bukan bukti data fisik. Sedangkan buku Letter C sebagai satu poin penting dalam persyaratan pengurusan sertipikat jika yang dimiliki sebagai bukti awal kepemilikan hak atas tanah itu hanya berupa girik, ketitir, atau petuk.
 
sumber : tanyahukum.com

Selasa, 04 Maret 2014

proses balik nama

Berdasarkan Undang-Undang Pertanahan, maka Jual Beli terkait tanah  harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah  (PPAT). Dalam praktek Jual Beli tanah ini dikenal istilah Balik Nama yang berkaitan dengan adanya peralihak hak/peristiwa hukum Jual Beli.
Pada dasarnya jual beli tanah yang bersertifikat terdiri dari 3 tahap, yakni:
  1. Pendahuluan (mulai dari penawaran sampai kata sepakat);
  2. Pelaksanaan jual-beli secara terang dan tunai di hadapan PPAT; dan
  3. Melakukan pendaftaran tanah untuk mendapat sertifikat.
Sehubungan dengan pernyataan di atas maka tanah yang telah bersertifikat, apabila terjadi transaksi jual beli antara penjual dan pembeli yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPJT), maka selanjutnya akan dilakukan proses Balik Nama. Proses Balik Nama disini adalah untuk merubah status kepemilikan dari Penjual (pemilik tanah sebelumnya) kepada Pembeli (pemilik tanah yang baru).
Pelaksanaan proses Balik nama ini dilakukan di Kantor Pertanahan setempat dimana tanah tersebut berada. Apabila proses tersebut selesai maka pada Sertifikat tanah yang dimaksud  akan tertera nama pemilik baru dari tanah  tersebut yaitu  nama pembeli, sedangkan nama pemilik lama dicoret. Dengan demikian proses Balik nama telah selesai dilakukan sehingga pembeli telah sah sebagai pemilik tanah yang baru. Proses ini biasanya memakan waktu kurang lebih 3 sampai 4 minggu pada Kantor Pertanahan setempat.
Terhadap Jual beli tanah yang belum bersertifikat dalam prakteknya juga sama dengan Jual beli tanah yang sudah bersertifikat. Artinya semua persyaratan sama baik identitas maupun bukti-bukti kepemilikan yang ada (syarat-syaratnya ada dalam kami mengenai syarat-syarat jual beli tanah) antara lain:
  1. Bukti-bukti kepemilikan awal;
  2. Girik;
  3. PBB,dll
Dan terkait pendaftaran atau pembuatan sertifikat dapat diproses secara bersamaan. Dengan maksud dibuatkan dulu Akta Jual Belinya (dengan dasar bukti kepemilikan yang ada) sekaligus diajukan pendaftarannya/pembuatan sertifikatnya).

prosedur dan syarat sah jual beli tanah

Jual beli hak atas tanah merupakan proses peralihan hak yang sudah ada sejak jaman dahulu. Jual beli ini didasarkan pada hukum Adat, dan harus memenuhi syarat-syarat seperti: Terang, Tunai dan Rill. Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, Tunai artinya di bayarkan secara tunai, dan Rill artinya jual beli dilakukan secara nyata. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli sebagaimana dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terdiri dari:
  1. PPAT sementara yakni Camat yang oleh karena jabatannya dapat melaksanakan tugas PPAT untuk membuat akta jual beli tanah. Camat disini diangkat sebagai PPAT untuk daerah terpencil atau daerah – daerah yang belum cukup jumlah PPAT nya.
  2. PPAT yakni Pejabat Umum yang diangkat oleh kepala Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kewenangan membuat akta jual beli yang bertugas untuk wilayah kerja tertentu.
Adapun prosedur jual beli tanah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan adalah sebagai berikut:
  1. Akta Jual Beli (AJB) Bilamana sudah tercapai kesepakatan mengenai harga tanah termasuk didalamnya cara pembayaran dan siapa yang menangung biaya pembuatan Akta Jual Beli (AJB) antara pihak penjual dan pembeli, maka para pihak harus datang ke kantor PPAT untuk membuat akta jual beli tanah.
  2. Persyaratan Akta Jual Beli (AJB) Hal-hal yang diperlukan dalam membuat Akta Jual Beli tanah di kantor PPAT adalah sebagai berikut:
    • Syarat-syarat yang harus dibawa penjual:
      1. Asli sertifikat hak atas tanah yang akan dijual;
      2. Kartu Tanda Penduduk;
      3. Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sepuluh tahun terakhir;
      4. Surat persetujuan suami isteri serta kartu keluarga bagi yang telah berkeluarga.
    • Syarat-syarat yang harus dibawa oleh Calon Pembeli:
      1. Kartu Tanda Penduduk
      2. Kartu Keluarga
  3. Proses pembuatan AJB di Kantor PPAT
    • Persiapan pembuatan AJB sebelum dilakukan proses jual beli:
      1. Dilakukan pemeriksaan mengenai keaslian dari sertipikat termaksud di kantor Pertanahan untuk mengetahui status sertifikat saat ini seperti keasliannya, apakah sedang dijaminkan kepada pihak lain atau sedang dalam sengketa kepemilikan, dan terhadap keterangan sengketa atau tidak, maka harus disertai surat pernyataan tidak sengketa atas tanah tersebut;
      2. Terkait status tanah dalam keadaan sengketa, maka PPAT akan menolak pembuatan AJB atas tanah tersebut;
      3. Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum;
      4. Penjual diharuskan membayar Pajak Penghasilan (Pph) sedangkan pembeli diharuskan membayar bea perolehan hak atas tanah dan anggunan (BPHTB) dengan ketentuan berikut ini: Pajak Penjual (Pph) = NJOP/harga jual X 5 % Pajak Pembeli (BPHTB) = {NJOP/harga jual - nilai tidak kena pajak} X 5%
    • Pembuatan Akta Jual Beli
      1. Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis;
      2. Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi;
      3. PPAT akan membacakan serta menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan bila isi akta disetujui maka oleh penjual dan calon pembeli akta tersebut akan ditandatangani oleh para pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta tanah sendiri;
      4. Akta dibuat dua lembar asli, satu disimpan oleh di kantor PPAT dan lembar lainnya akan disampaikan kepada kantor pertanahan setempat untuk keperluan balik nama atas tanah, sedangkan salinannya akan diberikan kepada masing-masing pihak.
    • Setelah Pembuatan Akta Jual Beli
      1. Setelah Akta Jual Beli selesai dibuat, PPAT menyerahkan berkas tersebut ke kantor pertanahan untuk balik nama sertipikat; dan
      2. Penyerahan akta harus dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatangani, dengan berkas-berkas yang harus diserahkan antara lain: surat permohonan balik nama yang telah ditandatangani pembeli, Akta Jual Beli dari PPAT, Sertipikat hak atas tanah, Kartu tanda penduduk kedua belah pihak, Bukti lunas pembayaran Pph, serta bukti lunas pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
    • Proses di Kantor Pertanahan
      1. Saat berkas diserahkan kepada kantor pertanahan, maka kantor pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutkan akan diberikan kepada pembeli;
      2. Nama penjual dalam buku tanah dan sertipikat akan docoret dengan tinta hitam dan diberi paraf oleh kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk;
      3. Nama pembeli selaku pemegang hak atas tanah yang baru akan ditulis pada halaman dan kolom yang terdapat pada buku tanah dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta tandatangan kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk; dan
      4. Dalam waktu 14 (empat belas) hari pembeli berhak mengambil sertipikat yang sudah dibalik atas nama pembeli di kantor pertanahan setempat.
Demikian penjelasan mengenai tata cara jual beli tanah, semoga bermanfaat.